Saksi Sejarah Peradaban Islam dalam Toleransi Beragama

Saksi Sejarah Peradaban Islam dalam Toleransi Beragama Diantara fenomena-fenomena toleransi keagamaan ialah adanya masjid-masjid yang berdampingan dengan gereja dalam naungan peradaban kita. Tokoh-tokoh agama di gereja diberi kekuasaan penuh dan pengikut-pengikut mereka dalam urusan-urusan keagamaan dan kegerejaan mereka.
Negara tidak campur tangan dalam hal itu, bahkan negara justru campur-tangan dalam memecahkan masalah-masalah khalifah antara mazhab-mazhab mereka. Negara menjadi penegah antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain.
Kaum Milkaniyun pernah menindas orang-orang Qibti Mesir pada masa Romawi. Mereka juga merampas gereja-gereja. Ketika Mesir ditaklukkan, kaum musliminin mengembalikan gereja-gereja itu kepada orang-orang Qibti dan memperlakukan mereka dengan adil. Setelah itu orang-orang Qibti-lah yang berlaku lalim kepada orang-orang Milkaniyun sebagai pembalasan terhadap perbuatan mereka sebelum Mesir ditaklukkan Arab.
Mereka mengadukan hal itu kepada Harun ar Rasyid yang segera menyuruh mengambil gereja-gereja yang dikuasai orang-orang Qibti di Mesir dan mengembali-kannya kepada orang-orang Milkaniyun setelah kepada Uskup Mikaniyun berunding dengan Harun ar Rasyid.
Kebebasan tokoh-tokoh agama dalam acara-acara ritual mereka dalam pelestarian kekuasaan mereka atas pengikut-pengikutnya tanpa campur-tangan negara telah dirasakan oleh kaum Nasrani dari penduduk negeri itu. Ini suatu hal yang belum pernah mereka rasakan pada masa pemerintahan Romawi.
Barangkali kita masih ingat Sultan Muhammad Al Fatih ketika menguasai Konstantinopel pusat keuskupan. Ortodoks di sebelah Timur. Pada saat itu Sultan memberikan jaminan kepada penduduknya (yang semuanya Nasrani) atas harta benda, jiwa raga, aqidah, gereja dan salib-salib mereka.
Sultan juga membebaskan mereka dari tugas kemiliteran dan memberikan kepada pemimpin-pemimpin mereka kekuasaan membuat undang-undang. Mereka juga dberi wewenang untuk memutuskan perkara-perkara perselisihan yang terjadi di antara para pengikutnya tanpa campur tangan negara.
Penduduk Konstantinopel melihat peradaban yang besar di antara perlakuan yang dialami mereka pada masa pemerintahan orang-orang Byzantium dan perlakuan Sultan Muhammad al-Fatih terhadap mereka. Orang-orang Byzantium selalu ikut campur dalam masalah-masalah khalifah mazhab serta memberikan prioritas kepada pengikut gereja mereka atas pengikut gereja lain.
Mereka merasa senang kepada pemerintahan yang baru, jiwa mereka menjadi lega karena toleransi keagamaan ini, yang tidak mereka jumpai bandinganya dari putera-putera agamanya sendiri yang berkuasa sebelumnya sehingga kepala Uskup Romawi dengan kekuasaan yang diperolehnya menyerupai pemerintahan di tengah-tengah pemerintahan yang lain.
Ia dan jemaahnya terus menikmati kondisi terbaik ini selama kurang lebih 500 tahun. Mereka mandiri dan bebas berbuat. Sayangnya, toleransi keagamaan yang tak ada bandingannya dalam sejarah ini menjadi dasar konsesi-konsesi asing yang disalahgunakan oleh orang-orang Barat pada akhir-akhir abad yang lalu dan di penghujung awal abad ini untuk menghancurkan fenomena kepemimpinan nasional di negeri ini.
Fenomena toleransi keagamaan laninya dalam peradaban kita ialah banyaknya gereja yang dtempati untuk sholat oleh kaum muslimin dan kaum Nasrani sekaligus dalam waktu yang bersamaan pada awal penaklukkan Islam.
Telah kita lihat bagaimana Nabi mengijinkan kaum Nasrani Najran sembahyang di masjidnya di samping kaum muslimin yang juga sedang sholat. Di tengah gereja Agung Yohanna di Damaskus yang di kemudian hari menjadi masjid jami` Bani Umayyah, orang-orang Nasrani pada saat penaklukkan rela separuh gerejanya diambil oleh kaum muslimin, dan kaum muslimin pun rela jika mereka shalat di situ.
Anda lihat putera-putera dua agama itu sholat berdampingan dalam waktu yang sama. Jamaah yang satu menghadap kiblat sedang jamaah yang lain menghadap ke Timur. Itu merupakan fenomena aneh yang unik dalam sejarah, mempunyai makna yang dalam untuk menunjuk toleransi keagamaan yang dicapai oleh peradaban kita.
Ada fenomena toleransi keagamaan lainnya dalam peradaban kita. Tugas atau jabatan diberikan kepada yang berhak secara sama tanpa memandang aqidah dan mazhabnya. Karena itu, dokter-dokter Nasrani pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasiah menjadi tempat perhatian di hadapan para khalifah. Mreka bertugas membimbing sekolah-sekolah kedokteran di Damaskus dan Bagdad dalam waktu yang lama. Dokter Nasrani, Ibnu Usal adalah dokter pribadi Muawiyah, sedang Sir John adalah sekertarisnya.
Khalifah Marwan mengangkat Asnasius bersama seorang Nasrani lainnya yang bernama Ishak untuk memangku jabatan pemerintahan di Mesir. Mereka kemudian mencapai martabat kepemimpinan di kantor- kantor negara. Asnasius mempunyai banyak kekayaan dan kedudukan yang luas,bahkan dia memiliki 4000 bidak dan banyak rumah, desa, kebun, emas dan perak.
Dia juga mendirikan sebuah gereja di Urfa dari hasil menyewakan 400 toko yang dimilikinya di situ. Kemasyhurannya telah membuatnya dipercaya oleh Abdul Malik bin Marwan untuk mengajar adiknya, Abdul Aziz, ayah dari Umar bin Abdul Aziz, yang di kemudian hari menjadi gubernur di Mesir.
Dokter lain yang terkenal mempunyai kedudukan tinggi di sisi khalifah-khalifah adalah Jurjais bin Bakhtisyu. Ia sangat dekat dengan khalifah Al Mansur. Dia selalu menghibur dan menyenagkan khalifah.
Jujrai mempunyai seorang istri yang sudah tua. Al Mansur mengirimkan kepadanya tiga budak wanita yang cantik, tetapi Jujrais tidak mau menerimanya. Katanya, Agamaku tidak membolehkan aku kawin lagi selama istriku masih hidup. Al Mansur senang dengan penuturannya itu dan dia bertambah hormat kepada Jujrais.
Tatkala Jujrais sakit, Al Mansur memerintahkan punggawanya untuk membawa Jujrais ke gedung tamu, sedangkan ia sendiri berjalan kaki pergi ke sana menanyakan bagaimana keadaannya. Jujrais minta ijin kepadanya agar ia dipulangkan ke negerinya untuk dimakamkan bersama leluhurnya. Al Mansur menawarkannya masuk Islam agar ia masuk surga tetapi ia menolak dan berkata, Aku rela bersama leluhurku si surga atau di neraka.
Al Mansur tertawa dan menyuruh ajudannya mempersiapkannya segala sesuatu yang diperlukan untuk kepulangannya. Al Mansur juga memberinya uang pesangon sebanyak 10.000 dinar
Salmuwaih bin Banan, seorang Nasrani, adalah dokter pribadi Al Mu`tashim. Ketika ia meninggal, Al Mu`tashim sangat berduka dan menyuruh menguburnya dengan dupa dan lilin sesuai dengan tatacara agama Salmuwaih.
Bakhtisyu bin Jibril adalah dokter pribadi Al Mutawakkil. Dia memiliki kedudukan di sisi Al Mutawakkil, bahkan ia menyamai khalifah dalam pakaian, kesejahteraan dan keperwiraan.
Begitu pula kedudukan para penyai dan sastrawan di hadapan para khalifah dan amir tanpa memandang agama dan mazhab mereka. Kita semua telah mengetahui kedudukan Al Akhtal pada masa dinasti Umayyah. Ia selalu mengunjungi Abdul Malik tanpa ijin. Dia mengenakan mentel dari sutera yang diberi jimat. Di lehernya bergelantungan salin emas yang diikat pada rantai emas, sisa-sisa arak bertetesan dari jenggotnya. Dia mencaci kaum Anshar dalam kasidah panjag yang isinya antara lain: Kehinaan bersemayam di bawah sorban-sorban kaum Anshar. Tentu saja syair itu membuat kaum Anshar sakit hati.
Maka kaum Anshar mengirimkan pemukanya, Nu`am bin Basyir, sahabat Rasulullah untuk menemui Abdul Malik. Di hadapan khalifah, melihat kehinaan di sini, wahai Amirul mukminin? Khalifah lalu menenteramkan hatinya tanpa menindak Al Akhtal.
Orang-orang seperti para khalifah selalu bersahabat dengan orang-orang yang menakjubkan mereka tanpa memandang agamanya. Ibrahim bin Hilal as Shabi dari kaum majuzi yang mempunyai agama tersendiri telah mencapai kedudukan negara yang paling tinggi. Dia juga memikul pekerjaan-pekerjaan penting karena keunggulannya atas penyair-penyair lain.
Antara Ibrahim dengan tokoh-tokoh sastra dan ilmu dari kaum muslimin terjalin hubungan dan persahabatan yang erat sehingga tatkala ia meninggal, Syarif Ridha, pemuka bani Hasyim Alawi selalu meratapinya dengan kasidah-kasidah yang abadi.
Halaqah-halaqah keilmuan di hadapan para khalifah biasanya menghimpun berbagai ulama (ilmuwan) dari berbagai agama dan mazhab. Al Ma`mun mempunyai sebuah halaqah keilmuan. Di situ berkumpul semua ulama agama dan mazhab. Ia selalu berkata kepada mereka, Bahaslah ilmu apapun yang kalian kehendaki tanpa berdalihkan kitab agamanya masing-masing agar tidak menimbulkan kemusyrikan-kemusyrikan golongan!
Seperti itulah halaqah-halaqah ilmiah rakyat. Khalaf bin Mutsanna berkata,”Kami pernah menyaksikan sepuluh orang pakar di Basrah berkumpul di sebuah majelis. Mereka adalah pakar nahwu Al Khalil bin Ahmad (sunni), penyair Al Humairi (Syiah) Saleh bin Abdul Quddus (Zindiq), Sofyan bin Mujasyi (Khawarij sekte shufriyah), Basyar bin Burd (Syu`ubi), Hammad Ajrad (Zindiq Syu`ubi), penyair Ibnu Rasil Jalut (Yahudi), pakar ilmu kalam Ibnu Nazhir (Nasrani), Umar bin Muayyad (Majusi), dan Ibnu Sinan al Harrani (shabi`i)”.
“Mereka berkumpul saling menyenandungkan syair, menceritakan khabar-khabar dan berbincang-bincang dalam suasana keakraban. Hampir tak tampak bahwa di antara mereka terdapat perbedaan yang mencolok dalam agama dan mazhab”.
Toleransi ini bahkan telah merasuk ke rumah-rumah dan keluarga-keluarga. Dalam satu rumah pernah berkumpul empat orang bersaudara; ada yang sunni, syi`i, khariji dan mu`tazili. Mereka hidup rukun dan harmonis.
Bahkan pernah pula dalam satu rumah hidup dua orang yang bertolak belakang keadaannya, yang seorang bertaqwa dan seorang lagi pendurhaka, yang seorang sibuk dalam ibadahnya sedang yang lain tenggelam dalam kemaksiatannya. Dalam hal ini buku-buku sastra menuturkan bahwa ada dua orang bersaudara tinggal di satu rumah. Yang seorang taqwa dan menempati ruang bawah, sedang yang seorang lagi pendurhaka dan menempati ruang atas.
Pada suatu malam si pendurhaka begadang bersama teman-temannya. Mereka beryanyi dan berteriak-teriak sehingga menganggu si taqwa dan membuatnya tidak bisa tidur. Si taqwa lalu melongokan kepalanya ke tempat saudaranya yang pendurhaka dan berseru,”Hai, apakah orang-orang yang berbuat kejelekan merasa aman jika Allah meneggelamkan mereka ke dalam bumi? Si pendurhaka segera menyahut, Allah tidak akan mengazab mereka selama engkau masih berada di tengah-tengah mereka”.
Fenomena toleransi keagamaan lainnya dalam peradaban kita ialah berpartisipasi dalam hari-hari raya keagamaan dengan segala kesemarakan dan keindahannya. Sejak masa pemerintahan dinasti Umayyah, kaum Nasrani selalu menyelenggarakan perayaan-perayaan umum di jalan-jalan raya yang di kawal oleh salib-salib dan tokoh-tokoh agama dengan pakaian kependetaan mereka.
Kepala Uskup, Michael pernah memasuki kota Iskandariah dalam sebuah perayaan yang meriah. Di hadapannya terdapat lilin-lilin, salib-salib dan Injil-Injil. Para pendeta berseru, Tuhan telah mengirimkan kepada kita penggembala Al Ma`mun yang merupakan markus baru. Itu terjadi pada masa pemerintahan Hasyim bin Abdul Malik.
Pda masa pemerintahan ar Rasyid ada kebiasaan orang-orang Nasrani ke luar yaitu ke luar dalam suatu pawai besar yang di kawal oleh salib. Hal itu terjadi pada hari raya Paskah. Al Maqrizi menuturkan dalam Ahsanut Taqasim bahwa pada hari raya kaum Nasrani pasar-pasar di Syiraz selalu dihias dan orang Mesir merayakan awal pasang sungai Nil pada waktu hari raya Salib.
Sedangkan Al Maqrizi menuturkan dalam Khuthat-nya bahwa pada masa dinasti Ikhsyidiah orang-orang selalu merayakan hari raya Ghitas secara besar-besaran. Pada tahun 330 Hijriah berlangsung perayaan hari raya Ghitas yang sangat meriah. Muhammad bin Thung al Ikhsyidi duduk di istananya di Jazirah Al Manil. Di sekelilingnya di nyalakan seribu lampu.
Rakyat berlayar bersamanya sambil menyalakan obor, lampu dan lilin. Sampan-sampan penuh dengan ribuan orang Nasrani dan Muslim. Tidak ada lagi tempat kaki berpijak karena banyaknya manusia. Mereka semua mengenakan pakaian yang terbaik dan segala perhiasannya. Mereka mengeluarkan makanan dan minuman dan meletakkannya dalam wadah-wadah emas dan perak. Pada malam itu pintu-pintu gerbang tidak terkunci. Sebagian besar manusia menyelam ke dalam air karena yakin mandi pada malam Ghitas bisa menyembuhkan penyakit.
Yang aneh, fenomena-fenomena cinta-kasih semacam ini terus berlanjut hingga pada Perang Salib dimana bangsa Barat melancarkan serangan bersejarah paling keras terhadap negeri-negeri Islam atas nama Salib. Pengembara Ibnu Jubair bercerita mengenai perjalannya: Peristiwa paling aneh yang terjadi adalah api fitnah yang berkobar antara dua kelompok, kaum muslimin dan nasrani.
Di satu sisi kedua belah pihak bertemu dan peperangan di musim panas pun berlangsung antara mereka, sedang di sisi lain kafilah-kafilah dari Mesir menuju Damaskus melewati negeri-negeri Eropa selalu mengalir tak terputus. Kaum muslimin tetap membayar pajak kepada kaum Nasrani di negeri mereka, sedangkan pedagang-pedagang Nasrani membayar pajak atas barang-barang dagangannya di negeri-negeri kaum muslimin. Kesepakatan antara mereka adalah kelurusan.
Yang berperang sibuk dengan peperangannya sedang yang lain tetap dalam keselamatan dan dunia adalah untuk menang.

Post a Comment

0 Comments